Pengertian Platyhelminthes, Ciri, Klasifikasi, Reproduksi, Habitat, dan Peranan

Pengertian Platyhelminthes, Ciri, Klasifikasi, Reproduksi, Habitat, dan Peranan -Platyhelminthes adalah filum dalam Kerajaan Animalia (hewan). Filum ini mencakup semua cacing pipih kecuali Nemertea, yang dulu merupakan salah satu kelas pada Platyhelminthes, yang telah dipisahkan.  Platyhelminthes (Yunani, platy = pipih, helminthes = cacing) adalah cacing berbentuk pipih, triploblastik (memiliki tiga lapisan embriotik), dan aselomata (tidak berongga tubuh).

Cara Hidup dan Habitat Platyhelminthes


Platyhelminthes ada yang hidup bebas di air tawar, air laut, atau tempat yang lembap dengan cara memakan sisa-sisa organisme dan tumbuhan atau hewan kecil. Ada rtcacing yang hidup sebagai endoparasit atau parasit di dalam tubuh inang, misalnya pada manusia, sapi, babi, anjing, kucing, burung, katak, siput air, dan ikan. Namun ada pula yang hidup sebagai ektoparasit dengan memakan lendir dan sel-sel di permukaan tubuh inang. Cacing yang hidup bebas berasal dari kelas Turbellaria, sedangkan cacing dari kelas lainnya hidup sebagai paraasit.

Ciri-Ciri Tubuh Platyhelminthes


a. Ukuran dan bentuk tubuh Platyhelminthes


Ukuran tubuh Platyhelminthes bervariasi, mulai dari yang berukuran hampir mikroskopis (kurang dari 1 mm) hingga yang berukuran panjang lebih dari 20 m. Cacing pipih yang berukuran kecil, misalnya Symsagittifera roscoffensis, Dugesia, dan Bipalium. Cacing pipih yang berukuran besar, contohnya Taenia saginata dan Taenia solium. Bentuk tubuh Platyhelminthes pipih dorsoventral, simetri bilateral, beruas-ruas atau tidak beruas-ruas. Platyhelminthes merupakan hewan yang paling primitif diantara hewan simetri bilateral lainnya. Platyhelminthes menujukkan gerakan maju ke depan.

b. Struktur dan fungsi tubuh Platyhelminthes


Tubuh Platyhelminthes terdiri atas tiga lapisan embriotik (triploblastik). Tubuhnya aselomata atau tidak memiliki rongga tubuh. Ada Platyhelminthes yang sudah memiliki sistem pencernaan makanan, terutama yang hidup bebas. Namun, ada pula yang tidak memiliki sistem pencernaan makanan, misalnya cacing pita (Cestoda). Platyhelminthes tidak memiliki sistem pernapasan dan sistem peredaran darah, sehingga pertukaran dan trasnportasi zat terjadi secara difusi. Sistem saraf platyhelminthes berupa beberapa pasang benang saraf. alat eksresi masih sangat sederhana, berupa saluran bercabang-cabang yang berakhir pada sel api (flame celli) . Alat indra berupa bintik mata untuk mendeteksi adanya sinar dan kemoreseptor. Cacing yang hidup endoparasit, seperti cacing pita, tidak memiliki alat indra.

Cara Reproduksi Platyhelminthes


Platyhelminthes bereproduksi secara seksual, aseksual, atau keduanya. Pada umumnya Platyhelminthes bersifat hermafrodit karena memiliki testis yang menghasilkan sperma dan ovarium yang menghasilkan sel telur. Reproduksi seara aseksual dengan fragmentasi, yaitu pemotongan beberapa bagian tubuhnya. Bagian tubuh yang terpotong akan melakukan regenerasi hingga menjadi individu baru yang lengkap, contohnya Planaria.

Klasifikasi Platyhelminthes


Filum Platyhelminthes terdiri atas empat kelas, yaitu, Turbellaria, Monogenea, Trematoda, dan Cestoda.

a. Turbellaria (cacing berambut getar)


Hampir semua Turbellaria hidup bebas di alam. Sebgaian besar hidup di dasar laut, pasir, lumpur, atau dibawah batu karang. Ada pula yang hidup bersimbiosis dengan ganggang, serta bersimbiosis komensialisme di rongga mantel Mollusca dan di insang Crustaceae. Beberapa jenis Turbellaria hidup parasit di dalam usus Mollusca dan rongga tubuh Echinodermata. Planaria atau Dugesia banyak hidup di kolam dan perairan air tawar yang belum terpolusi. Planaria hidup sebagai karnivor dengan memakan hewan hewan yang berukuran lebih kecil atau hewan yang sudah mati. Salah satu jenis Turbellaria, Pseudophaenocora, dapat hidup di perairan dengan kadar oksigen yang rendah. Pseudophaenocora banyak ditemukan di daerah beriklim tropis.

Bentuk tubuh Turbellaria pada umumnya lonjong hingga panjang, pipih dorsoventral, dan tidak beruas ruas. Ukuran tubuh antara 0.5 mm - 60 cm, namun sebagian besar berukuran sekitar 10 mm. Sisi sisi kepala melebar membentuk tentakel yang disebut aurikel. Tubuh berwarna hitam, cokleat, kelabu, merah, atau hijau karena bersimbiosis dengan ganggang. Pada bagian ventral, terdapat silia untuk merayap. Tubuh ditutupi oleh epidermis yang banyak mengandung lendir. Lendir berfingsi untuk melekat dan membalust mangsanya. Turbellaria rhabdite pada lapisan epidermisnya, berupa struktur seperti batang yang dihasilkan saat sekresi mukus dan berfungsi untuk pertahanan diri.

Turbellaria memiliki sistem pencernaan yang terdiri atas mulut, faring, dan rongga gastrovaskuler yang disebut enteron (usus). Dinding usus hanya terdiri atas satu lapisan sel sel fagosit dan sel kelenjar. Dinding usus mengalami pelebaran lateral yang berfungsi untuk memperluas penyerapan sari makanan. Hal ini untuk mengimbangi ketiadaan sistem transportasi (sistem peredaran darah). Turbellaria tidak memilki anus.

Sistem saraf bervariasi, ada yang berbentuk jala saraf, dan ada pula yang berbentuk benang saraf. Turbellaria memilki sepasang atau lebih bintik mata ubtuk mendeteksi cahaya.Pada umumnya Turbellaria menunjukan gerak fototaksis negatif atau menjauhi cahaya. Trbellaria juga memilki indra peraba berupa sel sel komoreseptor.

Alat eksresi berupa protonefridia, berbentuk saluran bercabang cabang yang berakhir pada flame bulb atau flame cell (sel api). Sel api berbentuk seperti bola lampu yang didalamnya terdapat beberapa silia. Sisa metabolisme berupa amonia yang dikeluarkan secara difusi melaui permukaan tubuh.

[caption id="attachment_1274" align="aligncenter" width="657"]Struktur tubuh Turbellaria platyhelminthes Struktur tubuh Turbellaria[/caption]

Turbellaria bererproduksi secara aseksual, seksual, atau keduanya. Pada umumnya hermafrodit, tetapi ada pula yang tidak hermafrodit. Reproduksi secara seksual dengan cara mutual, yaitu pada individu saling bertuakar sperma untuk membuahi sel telur pada individu pasangannya. Reproduksi secara aseksual dengan pertuntasan atau membelah diri, contohnya pada Stenostomum dan Microstomum. Pada awalnya individu membentuk sekatan melintang dan tiap potongan bergenerasi sehingga terbentuk zooid (bakal cacing). Zooid akan melepaskan diri dari induknya dan tumbuh menjadi individu baru. Dugesia tidak menghasilkan zooid, tetaoi bila bagian tubuhnya terpotong, maka tiap potongan akan melakukan regenerasi menjadi individu baru. Pada beberapa jenis Turbellaria, misalnya Phagocata, pada saat musim kemarau yang panas dan kering akan akan membentuk sista (cyst) yang keras,. Dalam waktu beberapa minggu atau beberapa bulan, sista akan menetas dan keluarlah cacing baru.

Terdapat sekitar 3.000 spesies Turbellaria, antara lain Symsagittifera roscoffenis, Mesostoma, Dugesia, Bipalium, dan Leptoplama.

b. Monogenea


Monogenea hidup ektoparasit pada ikan air laut, ikan air tawar, amfibi, dan reptilia. Cacing ini memakan lendir dan sel-sel permukaan tubuh inang. Cacing dewasa berukuran 0,2-0,5 mm. Pada umumnya, monogenea bersifat hermafrodit dan mengalami pembuahan sendiri. Cacing ini memiliki alat penempel pada bagian anterior yang disebut prohaptor dan opistator di bagian posterior. Opistaptor dilengkapi dengan duri, kait, jangkar, atau alat pengisap, dan biasanya lebih sering digunakan untuk menempel pada tubuh inang. Contohnya Gyrodactylus salaris.

c. Trematoda (cacing isap)


Trematoda disebut juga flukes. Mereka memilki tubuh berbentuk lonjong hingga panjang yang dilaisi kutikula. Cacing dewasa berukuran 0,2 mm- 6 cm. Trematoda hidup endoparasit pada ikan, amfibi, reptilia, burung, mamalia, termasuk juga manusia. Namun ada pula yang ektoparasit. Pada daur hidupnya, cacing ini memiliki inang utama sebagai tempat hidup saat dewasa dan inang perantara sebagai tempat hidup saat stadium larva. Trematoda memiliki satu atau dua alat penghisap untuk menempel pada tubuh inang. Cacing ini memakan serpihan sel, lendir, dan darah inang. Cacing hati pada hewan ternak herbivor (Fasciola hepatica), cacing hati pada manusia (Clonorchis sinensis), dan blood flukes (schistosoma japoonicum, Schistosoma mansoni).

Fasciola hepatica memiliki inang perantara siput air tawar (Radix auricularia, sinonim Lymnaea auricularis rubiginosa) . Pada saat dewasa menjadi parasit di hati hewan ternak, dan bisa hidup di hati manusia.

[caption id="attachment_1275" align="aligncenter" width="731"]Daur hidup Fasciola hepatica (platyhelminthes) Daur hidup Fasciola hepatica[/caption]

Daur hidup Fasciola hepatica adalah sebagai berikut.

  1. Cacing dewasa parasit di hati hewan ternak (manusia), kemudian bereproduksi secara seksual dan menghasilkan telur. Melalui aliran darah, telur berpindah ke empedu dan usu kemudian keluar bersama feses (tinja).

  2. Telur menetas menjadi larva bersilia mirasidium.

  3. Mirasidium menginfeksi siput air Lymnaea.

  4. Di dalam tubuh siput, mirasidium menjadi sporosista. Sporosista berkembang menjadi redia.

  5. Redia berkembang menjadi serkaria bersilia, kemudian keluar dari tubuh siput dan menempel pada tumbuhan air atau rumput. Serkaria menjadi kista metaserkaria.

  6. Bila kista metaserkaria yang menempel pada rumput termakan hewan ternak, maka akan tumbuh menjadi cacing baru di usus ternak, kemudian melalui aliran darah masuk ke hati hingga menjadi cacing dewasa.


Pada Clonorchis sinensis, inang perantaranya adalah ikan air tawar dan siput, sementara cacing dewasa hidup parasit pada hati manusia. Cacing dewasa berukuran 2,5 cm, dapat menghasilkan telur hingga 4.000 butir setiap hari, dan umurnya mencapai 8 tahun. Manusia dapat tertular klonorkiasis bila memakan ikan mentah yang mengandung serkaria.

Schistosoma menginfeksi manusia melalui pori-pori kulit telapak kaki dan tangan atau tertelan melaui pori-pori kulit telapak kaki dan tangan atau tertelan melalui mulut, kemudian mengikuti peredaran darah, ke paru-paru, ke hati, dan menetap di pembuluh darah dinding usus. Cacing jantan berukuran panjang sekitar 6 mm dengan diameter 0,5 mm. Cacing betina berukuran lebih kecil dan dapat menghasilkan 300 butir telur per hari. Telur dapat menembus dinding usus dengann menggunakan enzim dan duri.

d. Cestoda (cacing pita)


Cacing pita hidup parasit di usus vertebrata, misalnya manusia, sapi, anjing, babi, ayam, dan ikan. Tubuh cacing pita ditutupi oleh kutikula, tidak memiliki mulut dan alat pencernaan, serta tidak memiliki alat indra. Tubuh cacing dewasa terdiri atas kepala (skoleks), leher pendek (strobilus), dan progolotid. Skoleks dilengkapi alat pengisap (sucker) dan alat kait (rostellum) untuk melekat pada organ tubuh inang. Leher merupakan  daerah pertunasan, dengan cara strobilasi menghasilkan strobilus berupa serangkaian proglotid dengan jumlah mencapai 1.000 buah. Proglotid yang paling dekat dengan leher merupakan proglotid termuda. Semakin jauh dengan leher, proglotid semakin berukuran besar dan dewasa. Setiap proglotid memiliki alat kelamin jantan maupun betina. Pembuahan dapat terjadi dalam satu proglotid, serta antarproglotid dari individu yang sama maupun yang berbeda. Telur yang sudah dibuahi akan memenuhi uterus yang bercabang-cabang, sedangkan organ lainnya berdegenerasi. Proglotid yang mengandung telur akan terlepas bersama tinja.

Struktur tubuh Cestoda (cacing pita)

Daur hidup cacing pita membutuhkan satu atau dua inang perantara. Contohnya Taenia solium yang hidup parasit pada manusia dan hewan karnivor, dengan inang perantara babi. Dibothriocephalus latus memiliki inang utama manusia dan hewan karnivor, sedangkan inang perantaranya ikan. Taenia saginata merupakan parasit di usus manusia dengan inang perantara sapi. Skoleksnya tidak memiliki alat kait sehingga mudah diberantas. Echinococcus granulosus parasit di usus anjing dan Choanoteania infundibulum parasit di usus ayam.

[caption id="attachment_1277" align="aligncenter" width="600"]Daur hidup Taenia sanginata (cacing pita) Daur hidup Taenia sanginata (cacing pita)[/caption]

Daur hidup cacing pita (Taenia sp.) adalah sebagai berikut.

  1. Cacing dewasa hidup di usus manusia dan menghasilkan proglotid yang mengandung telur yang sudah dibuahi.

  2. Proglotid terlepas dari cacing induk, keluar bersama feses, bisa menempel pada rumput, kemudian termakan oleh hewan (sapi/babi).

  3. Di usus hewan tersebut, telur menetas menjadi larva onkosfer.

  4. Onkosfer menembus usus, masuk ke peredaran darah hewan tersebut, kemudian di dalam jaringan otot membentuk kista sistiserkus.

  5. Bila manusia memakan daging yang mengandung kista sistiserkus, maka sistiserkus akan berkembang menjadi cacing pita baru dan tumbuh hingga dewasa di usus manusia.


Peranan Platyhelminthes dalam Kehidupan Manusia


Platyhelminthes dari kelas Monogenea, trematoda, dan Cestoda pada umumnya merugikan karena hidup parasit di dalam tubuh manusia, hewan ternak, burung, dan ikan. Beberapa Platyhelminthes yang merugikan, antara lain sebagai berikut.

  1. Gyrodactylus salaris (Salmon fluke), dari kelas Monogenea menyerang ikan di kolam pembenihan.

  2. Schistosoma mansoni (blood flukes), menyebabkan skistosomiasis, yang menyebabkan terjadinya pendarahan pada saat mengeluarkan feses, menyebabkan kerusakan hati, gangguan jantung dan limpa, serta gangguan ginjal. Di Indonesia blood flukes dapat ditemukan di danau Lindu (Sulawesi Tengah), menyebabkan penyakit yang dikenal dengan "demam keong", karena inang perantaranya keong Oncomelania hupensis lindoensis.

  3. Cacing pita Taenia saginata, Taenia solium, dan Dibothriocephalus hidup parasit di usus manusia.


Baca juga : Cnidaria (Coelenterata): Pengertian, Ciri, Habitat, Reproduksi, Fisiologi, Klasifikasi, dan Peranan

Share this

Related Posts

1 komentar:

komentar
23 Juli 2018 20.53 delete

[…] Pengertian Platyhelminthes, Ciri, Klasifikasi, Reproduksi, Habitat, dan Peranan […]

Reply
avatar